Tahun
2013 merupakan tahun yang cukup sensasional bagi dunia pendidikan Indonesia. Mengapa
demikian ? karena pada tahun ini ada banyak perubahan yang prinsipil di dunia
pendidikan kita. Dua di antaranya yang sedang menjdi topik pembicaraan hangat
adalah pembaharuan kurikulum pembelajaran dan Ujian Nasional yang diputuskan
menjadi 20 paket. Sialnya, Ujian Nasional 20 pakte tersebut DIUJI COBAKAN pada
angkatan saya.
Banyak
di antara kami yang merasa ini sebuah ketidak adilan. Kami merasa pemerintah
terlalu terburu-buru dan terlalu gegabah mengambil kebijakan. Tahun lalu, UN
hanya berjumlah 5 paket. Lalu kemudian tahun ini bertambah menjadi 4 kali
lipat. Tujuan pemerintah sebenarnya bisa dimaklumi. Pemerintah hanya ingin
memperbaiki sistem ujian akhir yang selama ini dikotori oleh tangan-tangan mereka yang curang. Tapi menurut
saya, ada baiknya pemerintah melakukan uji materi secara mendalam terhadap
kondisi pelajar dan kemungkinan pelaksanaan UN 20 paket tersebut. Antara 5 dan
20 paket intervalnya sangat jauh. Ditambah lagi, pengambilan keputusan tersebut
tidak meminta pendapat dan tidak mendengarkan aspirasi pelajar sebelumnya. Pemerintah
hanya mengadakan rapat dan bertukar pendapat dengan petinggi-petinggi negara
yang sama sekali tidak akan mengikuti Ujian Nasional. Ini cenderung menjadi
tekanan mental bagi pelajar yang akan mengikuti UN.
Menurut
saya, sistem ujian akhir seperti Ujian Nasional tidak sepenuhnya akan efektif. Sebab,
yang namanya menyontek sudah jadi budaya
di kalangan pelajar Indonesia. Jika pemerintah ingin membersihkan pendidikan
dari aksi contek-menyontek, sekalian saja ujiannya dikemas dalam bentuk lisan
supaya penilaiannya lebih objektif. Selama ujian masih bentuk tertulis,
kesempatan menyontek masih sangat terbuka lebar.
Satu
hal yang sekarang sedang saya dan mungkin banyak teman-teman pelajar lain khawatirkan
yaitu dampak pelaksanaan Ujian Nasional
20 paket nantinya. Kami khawatir menaikkan kuota paket soal dengan interval yang terlalu jauh akan
menjadi tekanan yang menjatuhkan mental pelajar itu sendiri. Jika ingin
mengambil keputusan seperti itu, pemerintah hendaknya melakukannya dengan cara
bertahap. Misalnya, menaikkan jumlah paket soal dari 5 ke 10, kemudian dari 10
ke 15, barulah akhirnya dari 15 ke 20. Dan dalam uji coba tersebut pemerintah
bisa mengambil penilaian apakah pelajar Indonesia mampu menghadapi ujian dengan jumlah paket yang demikian banyaknya.
UN
menjadi tekanan mental bagi pelajar merupakan alasan yang sangat mendasar. Hampir
seluruh siswa di Indonesia memiliki pandangan yang sama tentang Ujian Nasional. UN menjadi
salah satu momok menakutkan. Entah bagaimana awalnya pandangan ini bisa muncul
namun yang pasti menurut pengalaman saya 2 kali mengikuti Ujian Nasional, saya
selalu menemukan teman-teman saya sangat ketakutan ketika akan menghadapi Ujian
Nasional. Ada satu hal yang menurut saya menjadi bagian dari alasan ketakutan
tersebut, mungkin karena soal UN dibuat di pusat oleh orang-orang yang tidak
tahu bagaimana proses pembelajaran di setiap sekolah sehingga siswa khawatir
soal yang keluar merupakan soal yang tidak pernah mereka temui sebelumnya, atau materi yang
dijadikan soal merupakan materi yang sebelumnya belum dipelajari oleh mereka.
Alasan
tersebut cukup masuk akal, sebab setiap sekolah memilih buku panduan belajar
yang berbeda-beda. Ditambah lagi perbedaan cara mengajar guru di setiap
sekolah. Pemerintah juga harusnya memikirkan hal tersebut.
Selanjutnya,
ada apa dengan pendidikan di Finlandia ? mengapa saya membandingkan pendidikan
di Indonesia dengan di Finlandia ? Perlu diketahui bahwa pendidikan di
Finlandia merupakan pendidikan terbaik nomor satu di dunia. Mengapa demikian ?
Saya akan membahas sesuai dengan informasi yang
pernah saya peroleh.
Finlandia
ditetapkan sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia melalui hasil
survei internasional yang komprehensif pada tahun 2003 oleh Organization for
Economic Cooperation and Development (OECD). Dan sampai sekarang, peringkat
tersebut masih digenggam oleh finlandia.
Konsep
pendidikan di Finlandia adalah “TEST LESS, LEARN MORE” yang artinya : “SEDIKIT
UJIAN, LEBIH BANYAK BELAJAR”. Konsep singkat ini sangat luar biasa mengingat Finlandia
tidak menjadikan ujian sebagai tolak ukur kelulusan siswa-siswinya tetapi hanya
sebagai tes untuk menilai apakah
siswanya telah menguasai materi pelajaran atau belum. Sedangkan di Indonesia,
ujian dijadikan dasar utama kelulusan dalam proses belajar. Jujur saja, sebagai
pelajar saya merasa ini adalah beban berat. Belum lagi jika dalam sehari kita
harus menghadapi 3-4 ujian. Benar-benar sangat menyesakkan otak.
Ditambah lagi, guru di Finlandia tidak hanya berfungsi sebagai pengajar
tetapi juga sebagai pakar kurikulum. Meskipun setiap sekolah memiliki kurikulum
berbeda, namun mereka menjalankan pendidikan tetap di bawah panduan resmi
pemerintah. Selain itu, guru di Finlandia merupakan lulusan-lulusan terbaik
dari berbagai universitas dengan pendidikan minimal magister (S2). Nah bagaimana
di Indonesia ? guru di Indonesia rata-rata masih berstatus S1 dan setelahnya lebih banyak yang hanya mengejar
STRATIFIKASI dibanding berpikir untuk melanjutkan sekolahnya.
Pendidikan di Finlandia memandang bahwa setiap siswa memiliki kemampuan
yang berbeda-beda. Oleh karena itu mereka menerapkan prinsip “No Competition”
atau “Tidak Ada Kompetisi” di antara pelajar. Mereka khawatir kompetisi akan
menjadi beban bagi siswa dalam mengikuti proses belajar. Sedangkan di Indonesia,
kompetisi sangat terasa. Setiap siswa bersaing untuk menjadi yang terbaik
dengan memperoleh nilai tertinggi. Hal inilah yang membuat pelajar akan
menggunakan cara apa saja demi
mendapatkan nilai sempurna, termasuk : BERBUAT CURANG.
Di Finlandia, setiap kelas hanya diisi oleh sekitar 20 orang siswa dengan
3 orang guru sekali belajar. Bagaimana prosesnya ? jadi begini, 3 orang guru
tersebut tidak berganti-gantian mengajar melainkan saling membantu mengajar. Seorang
guru menerangkan di depan kelas, seorang lainnya membantu menerangkan pada
siswa yang kurang mengerti di tempat duduk masing-masing dan seorang lainnya
membantu mengontrol serta mambantu memberi penjelasan bagia siswa lainnya yang
kurang mengerti. Sebuah kerja sama tim yang sangat baik. Itulah sebabnya, para
pelajar tidak terbebani dengan materi pelajaran apapun karena mereka didukung
oleh tenaga pengajar yang loyal dan pengertian. Bagaimana dengan Indonesia ? kebanyakan
sekolah menampung sekitar 30-40 bahkan 50-60 siswa dalam satu kelas. Banyaknya siswa
yang ditampung dalam satu kelas membuat proses belajar menjadi tidak nyaman dan
kurang efisien. Banyak yang akhirnya hanya jadi pengganggu dalam proses
belajar. Dan hal ini membuat tidak semua siswa dapat menguasai pelajaran karena
sedemikian banyaknya siswa hanya ditangani oleh satu orang guru setiap kelas.
Guru di Finlandia sangat memahami bahwa setiap siswa memiliki bakat dan
minat yang berbeda-beda. Untuk itu, mereka membantu siswa menemukan minat dan
bakat masing-masing dan kemudian membantu atau mengarahkan mereka untuk
mencapai minat atau mengembangkan bakat tersebut. Guru di Finlandia tidak
memaksakan bahwa setiap siswa harus menguasai setiap mata pelajaran yang
diajarkan karena mereka yakin hal tersebut justru akan menjatuhkan mental anak didik mereka. Nah ini
salah satu sindiran bagi pendidikan di Indonesia. Menurut pengalaman pribadi
saya yang juga ternyata banyak dialami oleh rekan-rekan saya sesama pelajar,
hampir semua guru sangat menuntut siswanya
untuk menguasai pelajaran yang mereka bawakan. Ini adalah sebuah pemikiran
kolot. Bagaimana mungkin seorang siswa yang tidak berbakat dalam sebuah
pelajaran dipaksa untuk menguasainya ? sedangkan si guru tidak memahami bahwa
siswa tersebut sebenarnya memiliki bakat luar biasa di bidang lain. Jujur saja,
terkadang inilah yang membuat siswa jadi
malas ke sekolah karena mereka harus menghadapi pelajaran yang tidak mereka
minati dan berhadapan dengan guru yang banyak menuntut.
Untuk urusan tugas, Finlandia tidak menekankan bahwa siswa harus diberi
tugas yang banyak dan butuh waktu berjam-jam untuk menyelesaikannya. Mereka menganggap
tugas yang diberikan hanya perlu diselesaikan dalam kurun waktu 30 menit saja. Karena
pendidikan di Finlandia lebih mengutamakan proses belajar dan ilmu yang bisa
diserap peserta didik di kelas daripada mengerjakan tugas yang banyak di rumah.
Hohoo.. ini kebalikan 180 derajat dengan Indonesia. Seingat saya, selama saya
menjadi pelajar tugas yang diberikan oleh setiap guru sangat banyak dan banyak
neko-nekonya. Ditambah lagi, dalam sehari hampir semua guru memberi tugas dan
harus dikumpul dalam waktu yang bersamaan. Ini seperti sebuah cara untuk
menjatuhkan siswa. Mengapa guru tidak bisa lebih pengertian dalam hal tugas ?
setidaknya mereka tidak membebani siswa
dengan tugas yang terlalu banyak dan saling mengalah dalam penentuan waktu
penyetoran tugas tersebut.
Selain itu, sekolah-sekolah di Finlandia semua sama baiknya. Tidak ada
yang lebih baik di antara lainnya. Hal ini memudahkan orang tua untuk
memilihkan sekolah bagi anaknya karena tidak perlu berebut untuk memasukkan
anaknya ke sekolah-sekolah ternama. Sedangkan di Indonesia, setiap sekolah
bersaing untuk menjadi yang terbaik dan ternama. Sehingga para siswa dan orang
tua mereka juga saling berebutan masuk
ke sekolah tersebut. Parahnya, tidak semua pendaftar bisa ditampung oleh
sekolah tersebut. Dan bagis siswa yang hanya merupakan bagian dari sekolah yang
kurang terkenal akan menjadi sangat
terkucilkan di antara pelajar yang bersekolah di sekolah terkenal.
Sistem mengajar di Finlandia tidak memakai sistem komando dan ceramah
seperti yang biasa ditemui dalam cara mengajar guru di Indonesia. Siswa dipersilahkan
mencari informasi sendiri dan mengerjakan tugas dengan independen berdasarkan
informasi yang mereka dapatkan. Hal ini tentu meminimalisir aksi
contek-menyontek karena setiap siswa punya dasar masing-masing. Di Indonesia
sendiri, masih banyak guru yang hanya ingin didengar tapi tidak ingin
mendengar. Padahal, di era teknologi dan globalisasi seperti saat ini, siswa
dan guru memiliki informasinya masing-masing sehingga mereka harus bekerja sama
untuk saling melengkapi dalam belajar maupun mengajar. Terlebih lagi, ada
sekian banyak guru yang tidak mau menerima
kritikan dari muridnya. Mereka akan marah jika siswanya menegur kesalahan yang
mereka buat apalagi ketika guru tersebut menyampaikan materi yang kurang benar.
Sangat primitif.
Dan inilah sebuah kabar baik dalam pendidikan di Finlandia. Sekolah di
Finlandia itu GRATIS. Sebab, pemerintah beranggapan bahwa memungut bayaran untuk
pendidikan merupakan sebuah TINDAKAN KRIMINAL. Dengan prinsip ini, semua anak di Finlandia
tentu dapat menikmati pendidikan tanpa
harus terhambat biaya. Para orang tua bisa dengan tenang memasukkan anaknya ke
sekolah karena tidak perlu memusingkan biaya. Nah nah nah... Bagaimana
Indonesia ? setahu saya, pendidikan
masih sangat mahal dan sulit dijangkau rakyat kurang mampu. Pemerintah memang
telah mengucurkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) serta mencanangkan program Wajib Belajar 9 Tahun (Wa-Jar 9 Tahun)
untuk tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Pertama. Namun sayangnya,
standar pendidikan tersebut masih sangat rendah. Bersekolah hanya sampai
SMP belum memenuhi kriteria. Ditambah lagi,
pengawasan terhadap penggunaan dana BOS masih kurang ketat sehingga banyak
sekolah yang dapat menyalahgunakannya.
So, How about our country, Indonesia ? tentunya Indonesia harus banyak belajar dari negara Finlandia. Boleh dibilang
pendidikan Indonesia banyak cacatnya. Sekarang, silahkan membandingkan dan
menyimpulkan sendiri. Tulisan ini saya buat bukan untuk menjelek-jelekkan
pendidikan negeri sendiri. Saya mencintai Indonesia makanya saya ingin
Indonesia memperbaiki diri dalam segala bidang, terutama pendidikan. Saya ingin
Indonesia ada kemajuan dari hari ke hari makanya saya membuat semacam tulisan
yang bernada sindiran/teguran. Berdiam diri saja tidak akan memberi solusi
dalam menghadapi masalah. Saya tidak punya jabatan dan kekuasaan untuk mengubah
sistem pendidikan di Indonesia. Saya menulis untuk menyampaikan aspirasi saya
secara damai dan cerdas serta berharap orang-orang yang membacanya akan
tersentuh dan menyatukan suara untuk berubah. Saya berharap ke depannya aspirasi
ini didengar dan dilaksanakan. Bukankah kita negara demokrasi yang menjunjung
tinggi kebebasan berpendapat dan beraspirasi ?
Terakhir, saya ingin rakyat dan pemerintah secara bersama-sama saling membantu
untuk berbenah diri. Perbaiki dulu pendidikan kita barulah kita bisa mengadakan
Ujian Nasional. Jika UN dilaksanakan seperti ini, sebenarnya menimbulkan kesan
bahwa pemerintah sendiri tidak percaya diri terhadap pendidikan yang ada. Buktinya,
UN harus dilaksanakan dengan sangat ribet dengan usaha keras meminimalisir
penyontekan. Jika pendidikan sudah maju, tanpa UN pun, Indonesia bisa
melahirkan lulusan-lulusan berpendidikan
terbaik yang pernah ada. Hanya jika pendidikan kita sudah baik. So, mari
berpikir mencari solusi. Tanpa ribut, tanpa kekerasan, tanpa anarkistis. Tunjukkan
cara pelajar menyampaikan aspirasi dengan jalan yang anggun dan berpendidikan. Semoga
aspirasi ini sampai ke telinga pemerintah dan bisa terlaksana.
MARI BERUBAH :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar